Wednesday, August 15, 2018

Launching a website

Hello bloggers, thanks for visiting.

After 10 years of blogging in various free platforms, I'm happy to announce that I have managed to launch my own website www.seulkilee.com February this year. You are most welcome to visit my new home and share your feedbacks on how to improve its templates and contents.

It is still under updating process as I'm backpack reporting in Malaysia, Indonesia and Thailand at the moment. 

For those of you who wanted to check my previous and latest works, click HERE.

As I have my own platform to archive my professional works, the postings of this blog will be more of personal essays as a backpacking journalist.

Hope you enjoy reading in my blog and website.

Thanks for your support. Ciao!

안녕하세요, 방문해주셔서 감사합니다.

국내외 여러 무료 블로그 서비스를 이용한 지 10여년 만에 처음으로 제 웹사이트를 개설했습니다. 지난 2월1일 제 취재 기사와 사진들을 모아둔 www.seulkilee.com 운영을 시작했습니다. 방문하셔서 웹사이트 내용이나 디자인과 관련한 개선점이 있거나, 이용 중 불편한 점은 의견 남겨주시면 주기적 업데이트에 반영하도록 하겠습니다.

개설 이후 말레이시아, 인도네시아, 타이를 이동하며 취재 중입니다. 홈페이지는 틈틈이 업데이트하고 있습니다.

저의 지난 취재기사, 최근 기사들을 보고싶으신 분들은 여기를 클릭해주세요.

이 블로그는 배낭메고 다니며 취재하는 자유기고가의 자유로운 에세이로만 채워질 예정입니다.

응원 감사합니다. 그럼 이만!

Monday, August 11, 2014

핑크 체크무늬 셔츠의 그녀

그녀는 어떤 중요한 일로 여정에 오른 것 같았다.

그녀는 큰 캐리어 세 개를 혼자서 카트에 담아 끌고 자카르타 수까르노-하따 공항 대한항공 발권창구에 줄을 섰고, 큰 캐리어 세 개부터 어깨에 맨 큰 명품모조 가방, 손목의 플라스틱 금빛시계까지 모든 것이 새로 산 지 얼마 안 된 것으로 보였다. 때때로 울어댄 블랙베리 스마트폰도 최신형에 액정과 키패드가 반짝거리는 '신삥'이었다. 다만 발가락을 끼워 신는 슬리퍼는 슈퍼에서 파는 흔한 것이었다. 겉옷으로 챙긴 청재킷이 짐챙기느라 카트에서 떨어져도 그녀는 옷을 털지 않았다. 발권대기 내내 신경이 날카로웠다. 발권창구가 열기도 전에 줄을 서서 누가 새치기를 하거나 자기가 뒤로 밀릴까봐 "도대체 어디에 어떻게 서라는 거냐, 여기 서는 거 맞냐"며 직원들에게 큰 소리로 묻고 또 물었다. 항공사 직원들은 이제 막 문을 연 발권창구 정돈을 하느라 분주하던 때였다. 다들 차분하게 기다리는 가운데 혼자 유독 목소리 크게 친절하게 인사를 하고 또 신경질적으로 질문을 해대던 그녀를 다시 만났다. 내 옆의 옆자리에 앉아 있었다. 얼마 지나지 않아 그녀가 한 가지 이상의 음식들에 알레르기가 있는 무슬림이라는 것을 알았다. 승무원이 그녀에게 다가가서 그녀가 이메일로 특별 주문한 메뉴를 준비하지 못했다며 양해를 구하고 다른 메뉴들을 권했기 때문이다. 곧 그녀가 인천을 경유해 샌프란시스코로 향하고 있다는 것을 알게 됐다. "최종 도착지가 어딥니까 손님?" "샌프란시스코." '샌프란시스코'하고 답하는 차분한 발음과 태도에 비장한 기색이 있었다.

서울에 도착해 카페에 앉아 대로변을 지나가는 많은 사람들을 보다가 문득 그녀가 생각났고 궁금했다. 그녀는 왜 샌프란시스코로 가는 걸까? 무슨 일로 가기에 그렇게 예민했던 걸까? 가만히 다시 기억을 떠올려보니 그녀는 <자카르타포스트> 정치부 기자 마가렛과 얼굴의 느낌이 좀 닮았다.

Tuesday, August 05, 2014

Roh Moohyun dan Jokowi


Sorak kemenangan menggema di kampus Chonnam National University di Gwangju, Korea Selatan di sebuah Desember petang musim dingin. Hari-hari itu Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Korea dan Jepan. Sejak tim nasional Korea berhasil memecahkan rekor dengan masuk ke semifinal pada Juni 2002, sorakan penuh emangat dan teriakan-teriakan tak terduga yang menggema dari jalanan dan tempat-tempat umum menjadi peristiwa biasa. Tapi sorak sorai kegembiraan dari aula mahasiswa di Chonnam National University itu terjadi pada bulan Desember, enam bulan setelah demam piala dunia.

Pada 19 Desember 2002 adalah hari pemilihan persiden ke sembilan di Korea Selatan. Sorakan kemenangan pada petang hari itu adalah reaksi mahasiswa atas berita televise yang menyiarkan pencalonan Roh Moohyun. Roh Moohyun – anak seorang petani miskin dan pengacara namun hanya lulusan sekolah menengah atas ‘Busan Commercial High School’ untuk aktivis pekerja dan hak asasi manusia, yang kemudian menjadi anggota dewan – adalah figur sensional di panggung politik Korea selama 2002. Pria, 56 tahun saat itu, memiliki pendukung yang sangat besar dari kalangan pengguna internet muda atau generasi pasca demokratisasi 1980-an. Yang membuat para pemilih muda tergerak mendukung Roh adalah kekalahannya yang berulang selama pemilihan umum.

Politik di Korea telah lama terpolarisasi dalam model regionalisme barat dan timur – provinsi Cholla dan Kyoungsang yang tak setara dalam hal pembangunan. Peta politik di negeri ini terbelah menjadi oposisi di pihak barat dan timur sebagai pemerintahan atau barat yang progresif dan timur yang konservatif. Roh, dari wilayah timur, memasuki dunia politik setelah bergabung dengan Democratic Reunification Party dan memenangi pemilu legislative pertama pada 1988. Dia menjadi terkenal setelah melakukan mempermasalahkan dengan fakta-fakta tuduhan korupsi kepada Chun Doohwan, mantan Presiden dari militer yang sangat berpengaruh.

Roh menyaksikan koalisi politik antara partai oposisi yang ia dukung dengan partai penguasa pada 1990 hanya untuk memenangkan pemilu, yang ia anggap sebagai pengkhianatan terhadap gerakan demokrasi. Dia memutuskan meninggalkan jalan mudah sebagai seorang politikus. Dia mengubah partainya menjadi Partai Demokrasi berbasis Cholla yang anti koalisi, bertarung di legislative dan memperebutkan kursi walikota Busan, kota pelabuhan di wilayah Kyoungsang. Dia kalah empat pemilu perturut-turut pada 1992, 1995, 1996 dan 2000. Anehnya, banyak yang menganggap komitmen “bodoh”nya untuk tidak mau berkompromi menandingi regionalisme sebagai impian segar dalam politik. Pedukung Roh lantas membentuk fans club politik pertama di Korea yang dinamai “Nosamo (orang yang mencintai Roh)”. Kelompok pendukung ini, yang menggandeng banyak artis, secara sukarela menginisiasi proyek penggalangan dana untuk kampanye presiden Roh yang tidak kaya dengan cara mendistribusikan celengan babi berwarna kuning ke berbagai kalangan.

Roh Moohyun pada akhirnya memenangi pemilihan presiden dan menempati posisi kepemimpinan tertinggi itu di Korea Selatan. Pemerintahan Partisipasi bentukan Roh (2003-2008) menginisiasi ide pembangunan nasional yang setara. Ia merelokasi ibukota administrative dari Seoul yang sudah terlalu padat, yang sudah menjadi ibukota semenanjung Korea Selatan lebih dari 600 tahun, ke Sejong di provinsi Chuncheong yang terletak di pusat Korea Selatan. Untuk pertama kalinya, rakyat Korea bisa dengan mudah mendengarkan pidato jujur presiden terkait persoalan negara, yang buat sebagian orang dianggap ceroboh dan tidak pantas disampaikan pemimpin nasional.

Sorak sorai pendukung di Tugu Proklamasi di Jakarta, pada petang 9 Juli lalu, setelah Jokowi mendeklarasikan ‘Kemenangan Rakyat Indonesia’ mengingatkan saya pada gelora sorai mahasiswa yang saya rasakan di kampus di petang musim dingin 2002 lalu. Saat itu saya tinggal di Gwangju, baru berusia 19 tahun; belum bisa memilih untuk Roh Moohyn tapi mengamati aspirasi dari senior-senior dan kebanggaan yang menguar di penjuru kampus. Lagi di Jakarta 2014, sekarang karena saya adalah warga negara Korea, saya tak bisa berpartisipasi untuk memilih di momen perubahan demokrasi yang menggairahkan ini, tetapi mengamati wajah-wajah bangga teman-teman saya dan tawa bahagia di ruang berita Tempo. 

by Seuki Lee
(Originally written in English )
Translation :Kartika
Proof reading/editing :Bagja