Sorak kemenangan menggema di kampus Chonnam National University di Gwangju, Korea Selatan di sebuah Desember petang musim dingin. Hari-hari itu Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Korea dan Jepan. Sejak tim nasional Korea berhasil memecahkan rekor dengan masuk ke semifinal pada Juni 2002, sorakan penuh emangat dan teriakan-teriakan tak terduga yang menggema dari jalanan dan tempat-tempat umum menjadi peristiwa biasa. Tapi sorak sorai kegembiraan dari aula mahasiswa di Chonnam National University itu terjadi pada bulan Desember, enam bulan setelah demam piala dunia.
Pada 19 Desember 2002 adalah
hari pemilihan persiden ke sembilan di Korea Selatan. Sorakan kemenangan pada
petang hari itu adalah reaksi mahasiswa atas berita televise yang menyiarkan
pencalonan Roh Moohyun. Roh Moohyun – anak seorang petani miskin dan pengacara
namun hanya lulusan sekolah menengah atas ‘Busan Commercial High School’ untuk
aktivis pekerja dan hak asasi manusia, yang kemudian menjadi anggota dewan –
adalah figur sensional di panggung politik Korea selama 2002. Pria, 56 tahun
saat itu, memiliki pendukung yang sangat besar dari kalangan pengguna internet
muda atau generasi pasca demokratisasi 1980-an. Yang membuat para pemilih muda
tergerak mendukung Roh adalah kekalahannya yang berulang selama pemilihan umum.
Politik di Korea telah lama
terpolarisasi dalam model regionalisme barat dan timur – provinsi Cholla dan
Kyoungsang yang tak setara dalam hal pembangunan. Peta politik di negeri ini
terbelah menjadi oposisi di pihak barat dan timur sebagai pemerintahan atau
barat yang progresif dan timur yang konservatif. Roh, dari wilayah timur,
memasuki dunia politik setelah bergabung dengan Democratic Reunification Party
dan memenangi pemilu legislative pertama pada 1988. Dia menjadi terkenal
setelah melakukan mempermasalahkan dengan fakta-fakta tuduhan korupsi kepada
Chun Doohwan, mantan Presiden dari militer yang sangat berpengaruh.
Roh menyaksikan koalisi
politik antara partai oposisi yang ia dukung dengan partai penguasa pada 1990
hanya untuk memenangkan pemilu, yang ia anggap sebagai pengkhianatan terhadap
gerakan demokrasi. Dia memutuskan meninggalkan jalan mudah sebagai seorang
politikus. Dia mengubah partainya menjadi Partai Demokrasi berbasis Cholla yang
anti koalisi, bertarung di legislative dan memperebutkan kursi walikota Busan, kota pelabuhan di wilayah
Kyoungsang. Dia kalah empat pemilu perturut-turut pada 1992, 1995, 1996 dan
2000. Anehnya, banyak yang menganggap komitmen “bodoh”nya untuk tidak mau
berkompromi menandingi regionalisme sebagai impian segar dalam politik.
Pedukung Roh lantas membentuk fans club politik pertama di Korea yang
dinamai “Nosamo (orang yang mencintai Roh)”. Kelompok pendukung ini, yang
menggandeng banyak artis, secara sukarela menginisiasi proyek penggalangan dana
untuk kampanye presiden Roh yang tidak kaya dengan cara mendistribusikan
celengan babi berwarna kuning ke berbagai kalangan.
Roh Moohyun pada akhirnya
memenangi pemilihan presiden dan menempati posisi kepemimpinan tertinggi itu di
Korea Selatan. Pemerintahan Partisipasi bentukan Roh (2003-2008) menginisiasi
ide pembangunan nasional yang setara. Ia merelokasi ibukota administrative dari
Seoul yang sudah terlalu padat, yang sudah menjadi ibukota semenanjung Korea
Selatan lebih dari 600 tahun, ke Sejong di provinsi Chuncheong yang terletak di
pusat Korea Selatan. Untuk pertama kalinya, rakyat Korea bisa dengan mudah
mendengarkan pidato jujur presiden terkait persoalan negara, yang buat sebagian
orang dianggap ceroboh dan tidak pantas disampaikan pemimpin nasional.
Sorak sorai pendukung di Tugu
Proklamasi di Jakarta, pada petang 9 Juli lalu, setelah Jokowi mendeklarasikan
‘Kemenangan Rakyat Indonesia’ mengingatkan saya pada gelora sorai mahasiswa
yang saya rasakan di kampus di petang musim dingin 2002 lalu. Saat itu saya
tinggal di Gwangju, baru berusia 19 tahun; belum bisa memilih untuk Roh Moohyn
tapi mengamati aspirasi dari senior-senior dan kebanggaan yang menguar di
penjuru kampus. Lagi di Jakarta 2014, sekarang karena saya adalah warga negara
Korea, saya tak bisa berpartisipasi untuk memilih di momen perubahan demokrasi
yang menggairahkan ini, tetapi mengamati wajah-wajah bangga teman-teman saya
dan tawa bahagia di ruang berita Tempo.
by Seuki Lee
(Originally written in English )
Translation :Kartika
Proof reading/editing :Bagja
No comments:
Post a Comment