Tuesday, August 05, 2014

Roh Moohyun dan Jokowi


Sorak kemenangan menggema di kampus Chonnam National University di Gwangju, Korea Selatan di sebuah Desember petang musim dingin. Hari-hari itu Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Korea dan Jepan. Sejak tim nasional Korea berhasil memecahkan rekor dengan masuk ke semifinal pada Juni 2002, sorakan penuh emangat dan teriakan-teriakan tak terduga yang menggema dari jalanan dan tempat-tempat umum menjadi peristiwa biasa. Tapi sorak sorai kegembiraan dari aula mahasiswa di Chonnam National University itu terjadi pada bulan Desember, enam bulan setelah demam piala dunia.

Pada 19 Desember 2002 adalah hari pemilihan persiden ke sembilan di Korea Selatan. Sorakan kemenangan pada petang hari itu adalah reaksi mahasiswa atas berita televise yang menyiarkan pencalonan Roh Moohyun. Roh Moohyun – anak seorang petani miskin dan pengacara namun hanya lulusan sekolah menengah atas ‘Busan Commercial High School’ untuk aktivis pekerja dan hak asasi manusia, yang kemudian menjadi anggota dewan – adalah figur sensional di panggung politik Korea selama 2002. Pria, 56 tahun saat itu, memiliki pendukung yang sangat besar dari kalangan pengguna internet muda atau generasi pasca demokratisasi 1980-an. Yang membuat para pemilih muda tergerak mendukung Roh adalah kekalahannya yang berulang selama pemilihan umum.

Politik di Korea telah lama terpolarisasi dalam model regionalisme barat dan timur – provinsi Cholla dan Kyoungsang yang tak setara dalam hal pembangunan. Peta politik di negeri ini terbelah menjadi oposisi di pihak barat dan timur sebagai pemerintahan atau barat yang progresif dan timur yang konservatif. Roh, dari wilayah timur, memasuki dunia politik setelah bergabung dengan Democratic Reunification Party dan memenangi pemilu legislative pertama pada 1988. Dia menjadi terkenal setelah melakukan mempermasalahkan dengan fakta-fakta tuduhan korupsi kepada Chun Doohwan, mantan Presiden dari militer yang sangat berpengaruh.

Roh menyaksikan koalisi politik antara partai oposisi yang ia dukung dengan partai penguasa pada 1990 hanya untuk memenangkan pemilu, yang ia anggap sebagai pengkhianatan terhadap gerakan demokrasi. Dia memutuskan meninggalkan jalan mudah sebagai seorang politikus. Dia mengubah partainya menjadi Partai Demokrasi berbasis Cholla yang anti koalisi, bertarung di legislative dan memperebutkan kursi walikota Busan, kota pelabuhan di wilayah Kyoungsang. Dia kalah empat pemilu perturut-turut pada 1992, 1995, 1996 dan 2000. Anehnya, banyak yang menganggap komitmen “bodoh”nya untuk tidak mau berkompromi menandingi regionalisme sebagai impian segar dalam politik. Pedukung Roh lantas membentuk fans club politik pertama di Korea yang dinamai “Nosamo (orang yang mencintai Roh)”. Kelompok pendukung ini, yang menggandeng banyak artis, secara sukarela menginisiasi proyek penggalangan dana untuk kampanye presiden Roh yang tidak kaya dengan cara mendistribusikan celengan babi berwarna kuning ke berbagai kalangan.

Roh Moohyun pada akhirnya memenangi pemilihan presiden dan menempati posisi kepemimpinan tertinggi itu di Korea Selatan. Pemerintahan Partisipasi bentukan Roh (2003-2008) menginisiasi ide pembangunan nasional yang setara. Ia merelokasi ibukota administrative dari Seoul yang sudah terlalu padat, yang sudah menjadi ibukota semenanjung Korea Selatan lebih dari 600 tahun, ke Sejong di provinsi Chuncheong yang terletak di pusat Korea Selatan. Untuk pertama kalinya, rakyat Korea bisa dengan mudah mendengarkan pidato jujur presiden terkait persoalan negara, yang buat sebagian orang dianggap ceroboh dan tidak pantas disampaikan pemimpin nasional.

Sorak sorai pendukung di Tugu Proklamasi di Jakarta, pada petang 9 Juli lalu, setelah Jokowi mendeklarasikan ‘Kemenangan Rakyat Indonesia’ mengingatkan saya pada gelora sorai mahasiswa yang saya rasakan di kampus di petang musim dingin 2002 lalu. Saat itu saya tinggal di Gwangju, baru berusia 19 tahun; belum bisa memilih untuk Roh Moohyn tapi mengamati aspirasi dari senior-senior dan kebanggaan yang menguar di penjuru kampus. Lagi di Jakarta 2014, sekarang karena saya adalah warga negara Korea, saya tak bisa berpartisipasi untuk memilih di momen perubahan demokrasi yang menggairahkan ini, tetapi mengamati wajah-wajah bangga teman-teman saya dan tawa bahagia di ruang berita Tempo. 

by Seuki Lee
(Originally written in English )
Translation :Kartika
Proof reading/editing :Bagja

No comments:

Post a Comment